HAKIKAT PENDIDIKAN
Pembahasan
tentang hakikat pendidikan diartikan sebagai kupasan secara konseptual terhadap
kenyataan-kenyataan kehidupan manusia baik disadari maupun tidak disadari
manusia telah melaksanakan pendidikan mulai dari keberadaan manusia pada zaman
primitif sampai zaman modern (masa kini), bahkan selama masih ada
kehidupan manusia didunia pendidikan akan tetap berlangsung. Kesadaran akan
konsep tersebut diatas menunjukkan bahwa pendidikan sebagai gejala kebudayaan.
Artinya sebagai pertanda bahwa manusia sebagai makluk budaya yang salah
satu tugas kebudayaan itu tampak pada proses pendidikan (Syaifullah,1981).
Padangan tentang pendidikan sebagai gejala kebudayaan akan meletakkkan
dasar-dasar dalam pendidikan pada: Manusia sebagai makhluk budaya; Perkembangan
pendidikan sejajar dengan perkembangan kebudayaan; dan segala aktifitas
pendidikan tentu harus memiliki kesejajaran tujuan.
Peletakan
dasar bahwa mansia sebagai makhluk budaya merupakan suatu pengakuan hanya
manusialah yang berhak disebut sebagai makhluk berbudaya, karena hanya
manusialah yang mampu menciptakan nilai-nilai kebudayaan dan sekaligus
membedakan antara manusia dengan makhkluk lainnya di dunia ini. Pengakuan
manusia sebagai makhluk budaya memiliki kesamaan pandangan dengan pernyataan
yang menyatakan manusia sebaai makhluk yang dapat dididik (animal educable),
makhluk yang harus dididik (animal educandum) dan makhluk yang aktif (animal
educandus).
Asas
perkembangan pendidikan sejajar dengan perkembangan kebudayaan menunjukkan
bahwa pendidikan selalu dalam keadaan berubah sesuai perkembangan kebudayaan.
Pendidikan merupakan cerminan dari nilai-nilai kebudayaan yang berlaku
sekarang, atau pada saat terterntu. Suatu kenyataan bahwa konsep-konsep
pendidikan dapat dipahami dari aktifitas pendidikan atau institusi-institusi
pendidikan. Kesejajaran perkembangan pendidikan dan kebudayaan ini,
mengharuskan adanya dua sifat yang harus dimiliki pendidikan yaitu bersifat
reflektif dan progresif.
Aktifitas
pendidikan berlangsung baik secara formal maupun informal. Baik pendidikan yang
formal maupun informal memiliki kesamaan tujuan yaitu sesuai dengan filsafat
hidup dari masyarakat. Pengakuan akan pendidikan sebagai gejala kebudayaan
tidak membedakan adanya pendidikan formal, informal dan formal, semuanya
merupakan aktifitas pendidikan yang seharusnya memiliki tujuan yang sama. Dari
sisi lain dapat dinyatakan bahwa pendidikan bukan hanya berlangsung di
lingkungan sekolah saja, tetapi juga belangsung di ru lingkungan keluarga dan
masyarakat.
Mendasarkan
pada uraian diatas maka pembahasan tentang hakikat pendidikan merupakan
tinjauan yang menyeluruh dari segi kehidupan manusia yang menampakkan
konsep-konsep pendidikan. Karena itu pembahasan hakikat pendidikan meliputi
pengertian-pengertian: pendidikan dan ilmu pendidikan; pendidikan dan sekolah;
dan pendidikan sebagai aktifitas sepanjang hayat. Komponen-komponen pendidikan
yang meliputi 1) Tujuan pendidikan, 2) Peserta didik, 3) Pendidik, 4) Interaksi
sfektif antara peserta didik dengan pendidik, 5) Isi pendidikan, 6) Konteks
yang mempengaruhi suasana pendidikan.
Hakekat Kebudayaan
Manusia
merupakan subjek pelaku dari kebudayaan. Manusia menjalankan kegiatannya untuk
mencapai sesuatu yang berharga baginya, dan dengan demikian kemanusiaannya menjadi
lebih nyata. Melalui kegiatan kebudayaan, sesuatu yang sebelumnya hanya
merupakan kemungkinan belaka, dapat diwujudkan dan diciptakan kemudian.
Sebenarnya, dalam usaha kebudayaan, manusia menemukan alam kodrat sebagai
rangka kemungkinan-kemungkinan untuk ekspresi dan penyempurnaan diri. Menurut
Bakker, kebudayaan merupakan alam kodrat sendiri sebagai milik manusia sebagai
ruang lingkup realisasi diri. Kedudukan manusia dalam kebudayaan adalah
sentral, bukan manusia sebagai orang, tetapi sebagai pribadi. Kepadanya segala
kegiatan diarahkan sebagai tujuan.
Untuk menghindarkan salah faham,
kebudayaan harus dibedakan dengan agama. Sebenarnya, agama sejauh dapat
melingkupi usaha manusia masih termasuk ke dalam syarat-syarat kebudayaan,
namun kebudayaan ialah sesuatu yang spesifik insani dan terealisasi dari bawah,
bukan rahmat dari atas. Yang diharapkan dari agama belum tentu termuat dalam
kebudayaan, begitu juga sebaliknya. Singkatnya, kebudayaan dianggap sebagai
suatu hal yang baik dan menarik, yang pantas dimiliki pelaksanaannya, dan
merupakan keharusan serta penyempurnaan manusia sekaligus masyarakat.
Sejumlah ahli kebudayaan membedakan
antara kebudayaan subjektif (kesempurnaan batin) dan kebudayaan objektif
(benda). Kedua aspek kebudayaan tersebut membawa serta suatu deretan binomia
lain yang menyiratkan kedua korelasi itu lebih lanjut, yaitu lahir-batin,
pribadi-sosial, tersembunyi-tampak, rohani-jasmani, jiwa-lembaga,
etos-peraturan, dan sebagainya, yang semuanya digerakkan oleh hubungan dialektis
yang sama. Namun sesungguhnya, kebudayaan objektif pun mencerminkan segi
subjektif, dan juga bergantung kepadanya. Kedua aspek tersebut tidaklah
paralel, melainkan korelatif, saling mensyaratkan, dan saling mempengaruhi.
Meskipun prioritas terletak pada daya batin, namun segi batin selalu
membutuhkan pengaruh korelatif dan hasil-hasilnya.
Dalam hal ini, filsafat bertugas
mengadakan refleksi tentang kebudayaan dan menafsirkannya pada derajat
metafisik. Artinya, filsafat mengabstraksikan dari corak individual macam-macam
kebudayaan, yang dilukiskan oleh etnografi dan ilmu folklore. Filsafat juga
mengabsraksikan perbedaan spesifik antara kebudayaan etnologi dan sosiologi.
Dengan kata lain, filsafat menyelidiki hakekat kebudayaan yang terwujud dalam
setiap kebudayaan. Sampai saat ini, telah ada 160 definisi mengenai kebudayaan
itu sendiri. Namun secara garis besar, pembagian definisi tersebut dapat
dikelompokkan menjadi sebagai berikut.
1)
Ahli
sosiologi menganggap kebudayaan sebagai keseluruhan kecakapan yang meliputi adat,
akhlak, kesenian, ilmu, dan lain-lain yang dimiliki manusia sebagai subjek
masyarakat.
2)
Ahli sejarah
menekankan
pertumbuhan kebudayaan dan mendefinisikan kebudayaan sebagai warisan sosial
yang menjadi tradisi.
3)
Ahli filsafat
menekankan
aspek normatif, kaidah kebudayaan, dan pembinaan nilai serta realisasi
cita-cita.
4)
Antropolog melihat
kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan.
5)
Psikolog mendekati
kebudayaan dari segi penyesuaian manusia kepada alam sekelilingnya, kepada
syarat-syarat hidup. Sejumlah ahli psikologi menguraikan bawah sadar kebudayaan
secara psiko-analisis. Strukturalis di antara mereka menyoroti fenomen pola dan
organisasi.
6)
Ilmu
bangsa-bangsa gaya lama dan petugas museum menaksir kebudayaan atas
hasil artefak dan kesenian.
7)
Pendefinisian
istimewa sebagai dialektic of challenge and response; superstruktur ideologis
yang mencerminkan pertentangan kelas; gaya hidup feodal aristokratis;
kebudayaan sebagai comfort, dan lain-lain.
Meskipun telah banyak pendapat
mengenai kebudayaan yang dikemukakan para ahli, namun tak ada yang dapat
mengganti pemikiran lebih dalam tentang hakekat kebudayaan itu sendiri dan
sifat-sifatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar