Senin, 06 Februari 2012

HAKIKAT PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


HAKIKAT PENDIDIKAN
Pembahasan tentang hakikat pendidikan diartikan sebagai kupasan secara konseptual terhadap kenyataan-kenyataan kehidupan manusia baik disadari maupun tidak disadari manusia telah melaksanakan pendidikan mulai dari keberadaan manusia pada zaman primitif  sampai zaman modern (masa kini), bahkan selama masih ada kehidupan manusia didunia pendidikan akan tetap berlangsung. Kesadaran akan konsep tersebut diatas menunjukkan bahwa pendidikan sebagai gejala kebudayaan. Artinya sebagai pertanda  bahwa manusia sebagai makluk budaya yang salah satu tugas kebudayaan itu tampak pada proses pendidikan (Syaifullah,1981). Padangan tentang pendidikan sebagai gejala kebudayaan akan meletakkkan dasar-dasar dalam pendidikan pada: Manusia sebagai makhluk budaya; Perkembangan pendidikan sejajar dengan perkembangan kebudayaan; dan segala aktifitas pendidikan tentu harus memiliki kesejajaran tujuan.
Peletakan dasar bahwa mansia sebagai makhluk budaya merupakan suatu pengakuan hanya manusialah yang berhak disebut sebagai makhluk berbudaya, karena hanya manusialah yang mampu menciptakan nilai-nilai kebudayaan dan sekaligus membedakan antara manusia dengan makhkluk lainnya di dunia ini. Pengakuan manusia sebagai makhluk budaya memiliki kesamaan pandangan dengan pernyataan yang menyatakan manusia sebaai makhluk yang dapat dididik (animal educable), makhluk yang harus dididik (animal educandum) dan makhluk yang aktif (animal educandus).
Asas perkembangan pendidikan sejajar dengan perkembangan kebudayaan menunjukkan bahwa pendidikan selalu dalam keadaan berubah sesuai perkembangan kebudayaan. Pendidikan merupakan cerminan dari nilai-nilai kebudayaan yang berlaku sekarang, atau pada saat terterntu. Suatu kenyataan  bahwa konsep-konsep pendidikan dapat dipahami dari aktifitas pendidikan atau institusi-institusi pendidikan. Kesejajaran perkembangan pendidikan dan kebudayaan ini, mengharuskan adanya dua sifat yang harus dimiliki pendidikan yaitu bersifat reflektif dan progresif.
Aktifitas pendidikan berlangsung baik secara formal maupun informal. Baik pendidikan yang formal maupun informal memiliki kesamaan tujuan yaitu sesuai dengan filsafat hidup dari masyarakat. Pengakuan akan pendidikan sebagai gejala kebudayaan tidak membedakan adanya pendidikan formal, informal dan formal, semuanya merupakan aktifitas pendidikan yang seharusnya memiliki tujuan yang sama. Dari sisi lain dapat dinyatakan bahwa pendidikan bukan hanya berlangsung di lingkungan sekolah saja, tetapi juga belangsung di ru lingkungan keluarga dan masyarakat.
Mendasarkan pada uraian diatas maka pembahasan tentang hakikat pendidikan merupakan tinjauan yang menyeluruh dari segi kehidupan manusia yang menampakkan konsep-konsep pendidikan. Karena itu pembahasan hakikat pendidikan meliputi pengertian-pengertian: pendidikan dan ilmu pendidikan; pendidikan dan sekolah; dan pendidikan sebagai aktifitas sepanjang hayat. Komponen-komponen pendidikan yang meliputi 1) Tujuan pendidikan, 2) Peserta didik, 3) Pendidik, 4) Interaksi sfektif antara peserta didik dengan pendidik, 5) Isi pendidikan, 6) Konteks yang mempengaruhi suasana pendidikan.

Hakekat Kebudayaan

            Manusia merupakan subjek pelaku dari kebudayaan. Manusia menjalankan kegiatannya untuk mencapai sesuatu yang berharga baginya, dan dengan demikian kemanusiaannya menjadi lebih nyata. Melalui kegiatan kebudayaan, sesuatu yang sebelumnya hanya merupakan kemungkinan belaka, dapat diwujudkan dan diciptakan kemudian. Sebenarnya, dalam usaha kebudayaan, manusia menemukan alam kodrat sebagai rangka kemungkinan-kemungkinan untuk ekspresi dan penyempurnaan diri. Menurut Bakker, kebudayaan merupakan alam kodrat sendiri sebagai milik manusia sebagai ruang lingkup realisasi diri. Kedudukan manusia dalam kebudayaan adalah sentral, bukan manusia sebagai orang, tetapi sebagai pribadi. Kepadanya segala kegiatan diarahkan sebagai tujuan.
Untuk menghindarkan salah faham, kebudayaan harus dibedakan dengan agama. Sebenarnya, agama sejauh dapat melingkupi usaha manusia masih termasuk ke dalam syarat-syarat kebudayaan, namun kebudayaan ialah sesuatu yang spesifik insani dan terealisasi dari bawah, bukan rahmat dari atas. Yang diharapkan dari agama belum tentu termuat dalam kebudayaan, begitu juga sebaliknya. Singkatnya, kebudayaan dianggap sebagai suatu hal yang baik dan menarik, yang pantas dimiliki pelaksanaannya, dan merupakan keharusan serta penyempurnaan manusia sekaligus masyarakat.
Sejumlah ahli kebudayaan membedakan antara kebudayaan subjektif (kesempurnaan batin) dan kebudayaan objektif (benda). Kedua aspek kebudayaan tersebut membawa serta suatu deretan binomia lain yang menyiratkan kedua korelasi itu lebih lanjut, yaitu lahir-batin, pribadi-sosial, tersembunyi-tampak, rohani-jasmani, jiwa-lembaga, etos-peraturan, dan sebagainya, yang semuanya digerakkan oleh hubungan dialektis yang sama. Namun sesungguhnya, kebudayaan objektif pun mencerminkan segi subjektif, dan juga bergantung kepadanya. Kedua aspek tersebut tidaklah paralel, melainkan korelatif, saling mensyaratkan, dan saling mempengaruhi. Meskipun prioritas terletak pada daya batin, namun segi batin selalu membutuhkan pengaruh korelatif dan hasil-hasilnya.
Dalam hal ini, filsafat bertugas mengadakan refleksi tentang kebudayaan dan menafsirkannya pada derajat metafisik. Artinya, filsafat mengabstraksikan dari corak individual macam-macam kebudayaan, yang dilukiskan oleh etnografi dan ilmu folklore. Filsafat juga mengabsraksikan perbedaan spesifik antara kebudayaan etnologi dan sosiologi. Dengan kata lain, filsafat menyelidiki hakekat kebudayaan yang terwujud dalam setiap kebudayaan. Sampai saat ini, telah ada 160 definisi mengenai kebudayaan itu sendiri. Namun secara garis besar, pembagian definisi tersebut dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut.
1)      Ahli sosiologi menganggap kebudayaan sebagai keseluruhan kecakapan yang meliputi adat, akhlak, kesenian, ilmu, dan lain-lain yang dimiliki manusia sebagai subjek masyarakat.
2)      Ahli sejarah menekankan pertumbuhan kebudayaan dan mendefinisikan kebudayaan sebagai warisan sosial yang menjadi tradisi.
3)      Ahli filsafat menekankan aspek normatif, kaidah kebudayaan, dan pembinaan nilai serta realisasi cita-cita.
4)      Antropolog melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan.
5)      Psikolog mendekati kebudayaan dari segi penyesuaian manusia kepada alam sekelilingnya, kepada syarat-syarat hidup. Sejumlah ahli psikologi menguraikan bawah sadar kebudayaan secara psiko-analisis. Strukturalis di antara mereka menyoroti fenomen pola dan organisasi.
6)      Ilmu bangsa-bangsa gaya lama dan petugas museum menaksir kebudayaan atas hasil artefak dan kesenian.
7)      Pendefinisian istimewa sebagai dialektic of challenge and response; superstruktur ideologis yang mencerminkan pertentangan kelas; gaya hidup feodal aristokratis; kebudayaan sebagai comfort, dan lain-lain.
Meskipun telah banyak pendapat mengenai kebudayaan yang dikemukakan para ahli, namun tak ada yang dapat mengganti pemikiran lebih dalam tentang hakekat kebudayaan itu sendiri dan sifat-sifatnya.


Tidak ada komentar: