Rekonstruksi Makna Gerakan Tajdid
Pada
8 Dzulhijjah 1430 H bertepatan dengan 25 Nopember 2009 Muhammadiyah
genap berusia seratus tahun, menurut perhitungan kalender hijriyah.
Dalam tradisi Islam mujaddid (pembaharu) selalu muncul setiap abad.
Siklus munculnya mujaddid
setiap seratus tahun ini didasarkan pada Hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud: ”sesungguhnya Allah akan membangkitkan pada kaum ini setiap
awal abad seseorang yang akan memperbaharui (paham) keagamaannya.” Mujaddid yang dimaksudkan bisa seorang maupun kelompok dan karenanya bisa berupa pembaharuan pemikiran maupun gerakan.
Tajdid,
yang muncul dalam berbagai ragam gerakan pembaharuan dalam sejarah
Islam, merupakan salah satu bentuk implementasi nilai ajaran Islam
setelah meninggalnya Nabi. Gerakan tajdid muncul sebagai
jawaban terhadap tantangan kemunduran yang dialami dan, atau jawaban
terhadap tantangan kemajuan yang dicapai oleh kaum Muslimin. Tulisan ini
mencoba melihat kembali peran Muhammadiyah dalam mengemban misi tajdid yang telah berjalan selama sekitar satu abad.
Rekonstruksi tajdid
Muhammadiyah dilakukan tidak hanya untuk menjawab kedua tantangan
seperti yang disebutkan di atas, tetapi juga didasarkan pada landasan
teologis yang menyebutkan perlunya pembaharuan pada setiap seratus
tahun. Kedua tantangan di atas bisa dilihat dalam diri Muhammadiyah dan
akibat pembaharuan yang telah dilakukannya. Alasan perlunya tajdid gerakan Muhammadiyah didasarkan pada alur logika yang menegaskan bahwa gerakan tajdid
itu tidak akan muncul sebelum tegaknya sebuah tatanan kehidupan atau
kemajuan, kemudian tatanan itu rusak dan kehidupan menjadi mundur.
Telah ditegakkannya kebaikan dan kemajuan dan rusaknya kehidupan secara berurutan harus ada sebelum gerakan tajdid
itu dilakukan. Pertanyaannya kemudian adalah: apa pembaharuan yang
telah dilakukan oleh Muhammadiyah selama satu abad ini? Mengapa
Muhammadiyah perlu merekonstruksi tajdid gerakannya? apakah rekonstruksi tajdid Muhammadiyah ini diarahkan untuk menjawab tantangan kemunduruan atau tantangan kemajuan atau kedua-duanya ?
Selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan tajdid,
namun sejak dekade 1980-an kritik internal muncul mempertanyakan peran
pembaharuan gerakan ini. Pada periode awal para elite Muhammadiyah telah
meletakkan dasar wawasan keagamaan yang liberal, menurut konteks saat
itu. Wawasan dasar keagamaan ini menjadi unsur penting formulasi
ideologi gerakan yang memberikan landasan untuk mengkritisi tatanan
kehidupan yang ingin dirubahnya, membenarkan tujuan yang ingin dicapai,
membenarkan kebijakan dan langkah praktis guna mecapai tujuan.
Dasar pandangan seperti tersebut telah mendorong munculnya semangat tajdid
ke dalam berbagai aspek kehidupan dan menerima nilai-nilai modern
seperti: perubahan, rasionalitas, keteraturan, orientasi jangka panjang,
rajin, kerja keras, tepat waktu, hemat, dan lain sebagainya. Pada
tingkat individu, ideologi ini tidak hanya membentuk watak perilaku
warga Muhammadiyah yang terbuka, menerima perubahan, rasional, adaptif,
dan sebagainya, yang menjadi ciri utama kemodernan seseorang, tetapi
juga telah melahirkan berbagai ragam institusi sosial yang membantu
mencerahkan dan menyadarkan umat bahwa kemajuan dan kebahagiaan hidup
merupakan tujuan yang bisa dicapai melalui kecerdasan dan bekerja keras.
Secara
institusional, pada perempat pertama abad ke-20 Muhammadiyah dikenal
sebagai simbol perubahan, kemajuan, dan karenanya dikenal sebagai
gerakan modern. Stereotyping keagamaan yang menempel pada diri
seorang Muslim sebagai eksklusif, tertutup, dan kolot terpatahkan oleh
seorang anggota Muhammadiyah yang memiliki watak rasional dan terbuka.
Pandangan dunia yang menjauhkan diri dari kehidupan dunia diganti dengan
pandangan yang menyebutkan bahwa Islam membolehkan umatnya untuk
memperoleh kebahagiaan duniawi.
Sikap keagamaan yang intolerant
diganti dengan toleran; sikap budaya yang uniformitas diganti dengan
pluralis; pandangan keilmuan yang membatasi pada ilmu agama diganti
dengan wawasan bahwa ilmu tidak hanya terbatas pada ilmu agama. Stigma
sosial yang menggambarkan orang Muslim itu malas, miskin, bodoh
terbantahkan oleh semangat yang dikembangkan oleh warga Muhammadiyah
yang kerja keras, memiliki penghasilan, dan memiliki pengetahuan untuk
menekuni profesinya. Namun, masih bisakah keberhasilan institusional dan
karakteristik individual yang disebutkan di atas dipakai mengukur
tingkat keberhasilan Muhammadiyah sekarang ini?
Ketidaksiapan
Muhammadiyah dalam mensikapi persoalan yang berkembang saat ini akan
menghilangkan jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Oleh karena itu, langkah pertama untuk mengatasi tantangan kemunduran
ini adalah kembali kepada semangat dan model yang telah dibangun oleh
para generasi awal Muhammadiyah. Mereka ini dipandang telah berhasil
dalam meletakkan ideologi dasar dan melaksanakan program pembaharuan
dalam arti yang sangat luas.
Meskipun
secara kuantitatif perkembangan fisik organisasi dan amal usaha semakin
bertambah sekarang ini, tetapi kualitas gagasan dan ide pembaharuan
tereduksi menjadi sangat superficial dan masih terjebak pada persoalan trivial. Oleh
karena itu, bisa dipahami mengapa pembaharuan pada akhirnya hanya
muncul dalam pemberantasan bid’ah, khurafat, dan takhayyul. Kenyataan
inilah yang kemudian mendorong munculnya usaha baru (tajdid gerakan) untuk menata kembali makna dan misi Muhammadiyah yang sesungguhnya.
Kedua, rekonstruksi tajdid gerakan
juga diarahkan untuk menjawab tantangan kemajuan yang dihadapi oleh
Muhammadiyah. Aspek penting dari rekonstruksi ini adalah menumbuhkan
kesadaran warga Muhammadiyah untuk tidak puas dengan keadaan yang ada.
Mereka harus merasa sebagai kelompok yang tidak ingin mempertahankan
sesuatu itu sebagaimana adanya (status quo), tetapi menjadi kelompok
yang selalu peka terhadap perubahan bagi perbaikan kehidupan masyarakat.
Berbagai tantangan yang dihadapi oleh Muhammadiyah sebagian merupakan
problem yang muncul akibat pembaharuan yang telah dilakukannya.
Orang
mengaitkan kemajuan itu dengan semakin meratanya ide dan ciri
kemodernan yang dulu umumnya ditemukan di kalangan warga Muhammadiyah,
tetapi sekarang ini hampir menggejala di kalangan masyarakat luas. Dalam
beberapa aspek pemikiran, dari sebagian kelompok yang disebut terakhir
ini bahkan ditemukan ide dan gagasan yang lebih maju atau paling tidak,
responsif terhadap wacana yang berkembang terkait dengan masalah
keagamaan kontemporer.
Usaha untuk memperbaharui (tajdid)
gerakan telah mencapai saat yang tepat pada usia Muhammadiyah satu abad
(8 Dzulhijjah 1430 H). Karena itu semangat pembaharuan mesti terus
disosialisasikan. Langkah ini dilakukan dengan merumuskan kembali atau
memberikan makna baru ideologi gerakan. Pikiran dasar ideologi
Muhammadiyah yang dirumuskan dalam maksud dan tujuan gerakan:
“menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” sampai sekarang, masih menjadi
acuan gerakan.
Meskipun
yang disebut “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” itu belum
terumuskan secara jelas, namun tidak keliru apabila disimpulkan bahwa
tatanan dasar kehidupan masyarakat yang diinginkan oleh Muhammadiyah,
disadari atau tidak, mengacu pada konsep pendewasaan individu warga dan
pemberdayaan masyarakat sipil. Dalam masyarakat seperti ini tingkat
kedewasaan, kecerdasan, dan kesadaran anggotanya merupakan modal utama
untuk menata kehidupan mereka sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar